Ini kisah saya dalam perjuangan menyelesaikan studi S2 saya. Entah bagaimana ujungnya nanti, apakah berakhir manis, atau berakhir pahit. Saya Tondy, sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Kuliah pasca sarjana. Sekarang hampir masuk semester lima. Sebagai pembukaan tulisan ini, itu dulu saja ya.
Niat awal saya ambil program pasca adalah untuk memperbaiki keilmuan, jejaring, dan lain lainnya dalam kehidupan saya. Sehari-harinya, saya sering “nongkrong” di kampus lainnya (Di jogja sini, banyak kampusnya, jadi saya nongkrong di satu kampus, tapi kuliah di kampus lain); karena sering nongkrong di kampus menyebabkan budaya akademik, penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat begitu melekat pada diri saya. Tulisan ini akan terbagi menjadi beberapa bagian yang nanti diujungnya akan saya ambil kesimpulan terkait rencana kuliah saya. Rencananya tulisan ini akan saya buat pada 1 Januari 2024 kemarin, tapi baru terlaksana hari ini, dua hari setelah saya dapat surat dari kampus tempat saya kuliah.

KULIAH PASCA SARJANA : PEMBIAYAAN
Pada awalnya saya merencanakan untuk kuliah cukup 4 semester saja lalu bisa lulus. Saya sudah menyiapkan biaya untuk itu dan mendepositokan uang yang cukup sehingga (dulunya) tidak khawatir untuk pembiayaan hingga kuliah selesai 4 semester.
Terkait pembiayaan ini, ternyata tidak semulus rencana awal, dimana pada perjalanannya ada pengeluaran-pengeluaran insidental yang saya sebagai seorang yang bertanggung jawab harus memenuhinya. Akhirnya, ya saya tidak bisa membayar biaya kuliah di semester ke empat.
Sebetulnya, bisa saja saya menyisihkan uang senilai satu juta setiap bulannya, yang lalu nantinya pada bulan keenam terkumpul uang yang cukup untuk membayar kuliah saya itu. Kondisi ini tidak saya lakukan karena saya berpikiran bahwa, nanti jika memang muncul ‘saatnya’ membayar kuliah, ya pasti Tuhan akan beri uang untuk membayar kuliah tersebut.
Alih-alih menabung uang untuk membayar biaya kuliah ini, saya lebih memilih menghibahkan uang saya untuk orang orang yang (saya kira) membutuhkan, seperti keluarga, anak yatim, maupun fakir miskin. Saya mengira bahwa mereka ini lebih membutuhkan daripada saya yang sudah cukup mewah bisa kuliah pasca sarjana.
Perihal pembiayaan ini kenapa saya sampaikan, karena itu tentu jadi kebutuhan dasar untuk kuliah selain kebutuhan lain seperti; adanya kemampuan berpikir yang cukup, mentalitas untuk berpartisipasi pada perkuliahan, hingga tindakan untuk menyelesaikan perkuliahan itu sendiri. Selain itu, pada surat yang sampai kepada saya menjelaskan bahwa SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) masuk dalam kriteria yang harus diselesaikan di setiap semesternya.
PERIHAL PERKULIAHAN
Saya sudah kuliah selama 4 semester hingga tulisan ini dibuat. Saya sudah menyelesaikan berbagai mata kuliah yang diberikan oleh pihak kampus. Saya juga sudah membuat proposal penelitian. Saya juga sudah (atau sedang) penelitian. Saya sudah bisa mengambil kesimpulan dari penelitian yang saya lakukan. Kenapa saya ada mengucapkan ‘sedang’ penelitian, karena penelitian yang menjadi tugas akhir saya ini bersifat kualitatif, dimana penelitian jenis ini akan berlangsung terus menerus tidak hanya berakhir saat penelitian tersebut selesai dituliskan laporannya.
Pada awal semester 4 kemarin, saya mengikuti kegiatan pemberian hibah yang diberikan oleh pihak kampus. Saya mendapatkan hibah untuk membantu penelitian saya tersebut sebesar 5 juta rupiah. Syarat yang harus saya penuhi dari adanya hibah tersebut adalah saya bisa menghasilkan artikel akademik yang lalu dipublikasi di jurnal ilmiah. Pada bulan November 2023 kemarin, artikel sudah saya tulis, dan sudah saya unggah ke jurnal ilmiah yang saya janjikan kepada pihak kampus.

Saya sudah membuat proposal penelitian, sudah turun ke lapangan, dan sudah menuliskan analisis data yang terkumpul, makanya saya bisa membuat artikel penelitian tersebut. Pada portal jurnal terkait juga tulisan saya sudah diterima.

MASALAH SAYA PADA TESIS
Nah, permasalahan baru muncul pada fase penulisan tesis. Tesis, kalau di indonesia itu artinya laporan hasil penelitian tugas akhir untuk jenjang S2. Untuk menyelesaikan S2 dan mendapatkan gelarnya, tidak sedikit kampus yang mensyaratkan Tesis sebagai syarat kelulusannya.
Penulisan Tesis ini seperti skripsi. Tidak sedikit yang akhirnya stress karena proses pengerjaannya. Yang stress dan tidak bisa bertahan, banyak yang mundur, ada juga yang sampai bunuh diri. Sebegitu ngerinya proses tugas akhir ini.

Jika membandingkan artikel ilmiah dan sebuah tesis, artikel ilmiah itu adalah tulisan mengenai hasil penelitian, begitu juga dengan tesis yang juga tulisan mengenai hasil penelitian. Pembeda keduanya, tesis itu umumnya lebih banyak halaman dan kontennya dibandingkan artikel ilmiah. Untuk halaman, sebuah artikel ilmiah paling banyak mencakup 50 halaman, sedangkan sebuah skripsi/tesis/disertasi bisa mencapai ratusan bahkan ribuan halaman.
Bagi saya, dan yang saya alami dulu saat menulis skripsi, isinya hanya berubah-ubah menuruti keinginan dari dosen-dosen bersangkutan. Hari ini disuruh revisi yang ini, besoknya disuruh revisi yang itu, padahal keseluruhannya sudah dibaca dari awal hingga akhir oleh si dosen, kenapa tidak satu kali revisi saja tapi menyeluruh. Itu yang membuat stress saya dulu, saat skripsi.
Nah sekarang ini, saya ada di fase tesis, saya sepertinya juga mengalami hal itu, mengalami stress itu.
SEKILAS PANDANGAN SAYA TENTANG TUGAS AKHIR MAHASISWA
Saya jujur saja, sebelumnya mengira bahwa mahasiswa S2 seharusnya lebih mandiri dibandingkan mahasiswa S1. Kalau S1, banyak yang bilang, bahwa, nulis skripsi itu hanya belajar nulis hasil penelitian. Saya ada sepakatnya dan tidak sepakatnya dengan pendapat tersebut. Saya sepakat karena jika dibilang hanya belajar nulis, ya itu benar, sangat sedikit penelitian S1 yang hasilnya orisinil dari ide hingga hasil nya yang itu lalu dapat menjadi perhatian orang karena kecemerlangan penelitian yang dilakukan.
Seringnya mahasiswa S1 hanya merubah studi kasus atau objek penelitian yang terjadi. Misalnya gini, suatu skripsi dibuat dengan judul, ‘Dampak Pemberian Tepung Terigu Sebagai Pakan Tikus Putih’. Nah nanti mahasiswa temannya akan membuat lagi, ‘Dampak Pemberian Tepung Terigu Sebagai Pakan Tikus Hitam’, lalu ada lagi ‘Dampak Pemberian Tepung Tapioka Sebagai Pakan Tikus Putih’. Itu maksud saya bahwa sebenarnya skripsi S1 hanya menjadi ajang belajar menulis dan berpikir sistematis, ilmiah, dan empiris.
Untuk S2 dan tahap diatasnya lagi, tugas akhir yang bernama tesis maupun disertasi cenderung lebih berbobot. Lebih berbobot ini tidak hanya dari bobot penelitian, namun juga bobot upaya yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam menciptakan tesis dan disertasi tersebut.
Mahasiswa S2 seharusnya lebih mandiri seperti lebih banyak membaca buku (sehingga dapat banyak teori dan aplikasi), lebih banyak turun ke lapangan, lebih banyak berdiskusi dengan rekan sejawat dan sebagainya, yang kesemuanya ini bertujuan untuk menciptakan penelitian yang baik dan berkualitas. Mahasiswa S2 tidak hanya menunggu dosen menyampaikan apa yang harus dilakukan oleh si mahasiswa.
PENJELASAN MASALAH ATAU KENDALA TESIS
Nah karena pandangan bahwa mahasiswa S2 harusnya lebih mandiri daripada mahasiswa S1 ini, akhirnya saya membuat penelitian dan calon tesis secara mandiri dan minim berdiskusi dengan dosen pembimbing. Saya tidak terlalu banyak berdiskusi dengan dosen pembimbing karena memang saya tidak melihat adanya dosen yang memiliki minat perihal topik “dinamika kelompok” seperti yang saya angkat dalam penelitian tugas akhir saya. Saya memilih belajar sendiri dari buku ataupun sumber-sumber lainnya. Topik ini, “Dinamika Kelompok” juga tidak diajarkan di perkuliahan di kampus tempat saya menempuh S2 ini. Topik ini menjadi topik penelitian saya berdasarkan hasil diskusi saya dengan dosen pembimbing tugas akhir.
Saya pada awalnya ingin mengkaji bagaimana sekelompok masyarakat tani di Kulon Progo mampu membuat sebuah produk sosial maupun produk pertanian yang bernama padi melati menoreh. Bagaimana padi melati menoreh itu jadi sebuah business (urusan) masyarakat di kulon progo sana. Rencana penelitian itu saya beri judul “Agribisnis Padi Unggulan Melati Menoreh”.
Rencana ini lalu berdasarkan hasil diskusi saya dengan dosen pembimbing maka dirubah menjadi “Dinamika Kelompok Pada Kelompok Tani Ngudi Rejeki Dalam Pengembangan Padi Lokal Melati Menoreh”.
Setelahnya, saya diundang untuk melakukan seminar proposal penelitian saya. Itu tanggal 16 Februari 2023. Seminar berjalan lancar, dengan banyak masukan dan usulan revisi yang saya terima.


Setelahnya seminar proposal, saya melakukan revisi terhadap proposal saya dan selanjutnya saya turun ke kulon progo (ke lapangan) untuk pengambilan data.
Pada awal Bulan Maret, sebenarnya data sudah banyak saya dapatkan. Dan bisa saya tuliskan. Pada penelitian yang sifatnya kualitatif, semua hal berjalan simultan, baik itu pengambilan data, maupun pengolahannya, lalu pengambilan kesimpulan sementara. Yang nantinya kesimpulan sementara itu perlu diuji dengan menanyakannya lagi ke lapangan (kepada para informan).
Saya tidak kunjung menuliskan data-data tersebut menjadi sebuah draft tesis karena, (1) ada kegiatan penelitian lain yang sebenarnya harusnya mulai bulan agustus 2022 namun dananya baru cair bulan maret 2023, jadi saya mau tidak mau harus beralih ke penelitian (proyek) yang dulu saya ajukan tersebut, dan (2) ada ibu sambung saya yang sakit keras yang itu tentu mengganggu fokus pikiran dan perasaan saya. Saya tidak bermaksud menjadikan orang sakit sebagai alasan, namun realitanya, jika diingat hingga saat ini waktu itu saya benar benar mendoakan kesembuhan beliau dengan berbagai cara.
Saya, pada rentang Bulan April, Mei, Juni sebenarnya telah melakukan olahan data dengan cara yang saya biasa lakukan dan berdasarkan teori teori yang umum dipelajari di buku metode penelitian. Lalu pada tanggal 12 Juni 2023, dosen pembimbing saya mengajak saya dan beberapa mahasiswa lain untuk diskusi penyusunan data kualitatif. Saya waktu itu juga hadir. Diskusi dilakukan pada tanggal 15 Juni 2023.

Setelahnya pada bulan-bulan Agustus saya mengumpulkan hasil reduksi data yang sudah saya lakukan dengan metode yang tidak sama dengan cara yang diberikan oleh dosen pembimbing. Jika melihat secara jejak digital, ini terjadi pada tanggal 10 Agustus 2023.


Pada kondisi ini saya sudah menyampaikan bahwa cara yang saya gunakan tidak sama dengan cara yang diberikan oleh dosen. Alasan pertama, karena saya sudah terlanjur jalan terlebih dahulu, menggunakan kebiasaan, dan cara yang saya pelajari dari buku buku metode penelitian. Alasan kedua, karena metode yang disampaikan dosen tersebut tidak sama instrumennya dengan yang saya gunakan. Saya, selama bekerja sebagai asisten peneliti di kampus yang lain, melakukan wawancara itu dengan instrumen perekaman, karena instrumen ini (1) menunjukan kredibilitas data yang diambil, dimana ada percakapan antara kedua belah pihak, (2) bahwa wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan membebaskan pembicaraan agar mengalir seperti keinginan informan. Instrumen berupa alat perekam ini tidak wajib sebenarnya, makanya kadang ada juga peneliti yang tidak menggunakan alat perekam dan sanggup mengingat pembicaraan yang dilakukan.
Menggunakan atau tidak menggunakan alat perekam memang jadi perdebatan tersendiri di dunia penelitian yang sifatnya kualitatif. Ada yang bilang, alat perekam membuat narasumber jadi tidak terbuka. Kalau saya malah menganggapnya, terbuka tidaknya narasumber itu bergantung pada si penanya, jika si penanya bisa begitu jeli hingga narasumber tidak sadar bahwa dia sedang direkam, atau bisa membuat narasumber merasa yakin bahwa berbicara apa adanya sembari direkam itu biasa saja maka kenapa tidak menggunakan alat perekam.
Saya akhirnya coba untuk mengikuti alur untuk membuat lampiran sesuai dengan arahan dosen tersebut.



Namun seiring berjalannya penyesuaian yang saya lakukan, saya merasa bahwa metode yang diberikan dosen itu justru memaksakan pendapat-pendapat narasumber yang berada di lapangan untuk dijadikan satu menjadi satu buah kesimpulan. Padahal pada penelitian kualitatif, kebenaran itu bersifat majemuk. Kebenaran bersifat majemuk itu maksudnya, pendapat si A benar, pendapat si B juga tidak salah. Berbeda dengan penelitian Kuantitatif, kebenaran hanya ada satu, kalau bukan pendapat A yang benar ya pendapat si B yang benar.
Lalu akhirnya berdiskusi lah saya dengan dosen, perihal metode ini.
DISKUSI DENGAN DOSEN PERIHAL METODE
Pada saat saya hadir di kampus dan menunggu didepan ruang dosen, didalam sedang ada mahasiswa lain yang juga nunggu dosen tersebut. Lalu dosen itu datang dari ruang lain masuk ke ruangan dan ngeliat saya, lalu saya juga skalian disuruh masuk.
Kami ada ngobrol-ngobrol sebentar, lalu si dosen melayani mahasiswa yang sudah hadir duluan tersebut. Yang mengagetkan saya adalah, tiba-tiba si dosen itu nyeletuk, mungkin niatnya bercanda, seperti ini, “nih mas tondy, kalau perempuan saya bikin cepet”.
Ucapan si dosen itu cukup bikin saya tersentak. Saya jadi merasa, “jangan jangan saya lambat prosesnya karena saya bukan perempuan ya”.
Lalu keluarlah si mahasiswi tadi. Dan berdiskusilah saya dengan si dosen.
Diskusi berjalan dimana si dosen ‘terkesan’ memaksakan metode reduksi data yang dia gunakan. Sedangkan saya, tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan metode yang saya gunakan. Hasil pengolahan data atau reduksi data yang sudah saya berikan di pesan whatsapp grup juga sepertinya tidak coba dipahami oleh si dosen. Entah sudah dilihat atau belum olehnya. Tidak ada sama sekali menanyakan ke saya, bagaimana cara saya mengumpulkan data, bagaimana cara saya mereduksi data, kenapa memilih cara seperti itu, metode atau cara itu merujuk pada teori siapa, dan sebagainya selayaknya diskusi akademis.
Pada diskusi diskusi sebelumnya juga begitu pada saat awal sebelum melakukan penelitian, saat masih berbentuk proposal penelitian, selalu kritik yang disampaikan mengarah pada judgemental (penghakiman). Sering saya dibilang, pikiran saya masih terlalu kuantitatif, dan penghakiman-penghakiman lainnya.
Detik ini saat saya menuliskan tulisan ini, saya jadi berpikir, saya ada salah apa ya dengan si dosen..
SELANJUTNYA
Akhirnya saya coba untuk mengerjakan ulang reduksi data menggunakan cara beliau. Bukannya semakin baik malah saya semakin bingung. Cara yang saya gunakan dulu mempermudah penulisan hasil penelitian yang bersifat kualitatif. Dimana apa yang didapatkan di lapangan akan menjadi sub bab pada bab “hasil dan pembahasan”.
Jika menggunakan cara si dosen, maka yang terjadi hanya menguliti kejadian di lapangan, hanya menyamakan lapangan dengan teori. Justru ini sifatnya sangat kuantitatif (Lapangan disamakan dengan teori).
Padahal pada penelitian berjenis kualitatif, lapangan adalah lapangan. Tidak ada teori disana. Peneliti harus mampu menangkap fenomena yang dilapangan itu mendekati teori apa. Keadaan seperti ini disebut juga dengan “kepekaan teoritis”.
Kalau bingung apa itu kepekaan teoritis, bisa baca buku Dasar-dasar Penelitian Kualitatif dari Anselm Strauss dan Juliet Corbin. Kalau tidak punya bukunya, maka bisa baca ini. Link ke Kompasiana.
Gambarannya gini, jika saat peneliti melakukan wawancara lalu para narasumber/informan di lapangan bilang tidak ada perencanaan kegiatan, maka belum tentu benar-benar tidak ada perencanaan kegiatan. Bisa jadi, ternyata kegiatan direncanakan secara spontan lewat chat whatsapp, atau kegiatan direncanakan secara grenengan oleh ibu-ibu di dapur umum. Jika peneliti kualitatif tidak memiliki kepekaan teoritis, maka si peneliti akan semata mata mengambil kesimpulan “tidak ada perencanaan kegiatan”. Kesimpulan itu tidak sepenuhnya salah, karena para informan bilang tidak ada perencanaan kegiatan. Namun kesimpulan itu bisa dibilang gagal menggali realita yang ada di lapangan.
Kembali ke lanjutan kehidupan pasca diskusi, saya jujur jadi uring-uringan dalam menuliskan laporan hasil penelitian alias tesis ini. Kesibukan usaha, dan remuk nya mental karena (1) tidak ada kultur diskusi akademik yang sehat terkait yg dikerjakan seperti kasus metode tadi, (2) ucapan “kalau perempuan saya buat cepet selesai” yang membuat saya jadi merasa, “karena saya laki laki maka saya akan lama”, (3) pemaksaan untuk mengikuti metode yang saya tidak tahu ujung pangkalnya yang kedepannya itu akan merubah bentuk penelitian yang telah dilakukan. Semua ini membuat saya uring-uringan.
KEMARIN ADA YANG SEMINAR HASIL
Pada tanggal 12 Desember 2023 kemarin ada seorang teman yang mengundang saya untuk mengikuti seminar hasil penelitian dia. Dia teman sekelas saya, masuknya bareng saya, dan sering satu kelompok tugas barengan. Teman ini dosen pembimbing tesisnya sama dengan saya. Penelitian yang ia lakukan juga penelitian yang berbentuk kualitatif. Intinya ia mengundang saya untuk menghadiri seminar hasil penelitian miliknya.
Saya hadir, dan menyimak presentasi teman tersebut dan menyampaikan beberapa pertanyaan.
Saat masuk sesi tanggapan dan pertanyaan dari dosen penelaah, dosen penelaah menyampaikan, ini kok penelitian kualitatif rasa kuantitatif. Pertanyaan ini senada dengan perasaan saya.
Metode analisis data yang teman gunakan itu, yang saya tahu bahwa itu adalah arahan si dosen, akan membuat semua penelitian kualitatif hanya mengumbar data saja. Tidak akan ada muncul cerita atau story line, tidak akan memunculkan bagan atau diagram yang menjelaskan fenomena di lapangan.
Lalu saya jadi semakin berpikir, perlukah saya mengikuti arah atau metode yang diminta dosen saya?
LALU ADA DOSEN YANG MENYEMANGATI SAYA
Hari kamis kemarin, ada dosen yang memberi komentar pada story WA saya. Lalu pada kesempatan itu beliau juga menyemangati saya untuk segera menyelesaikan tesis saya. Lalu saya sampaikan keadaan yang saya rasakan,

Rasa tidak sreg ini benar benar mengganggu. Sebenarnya saya bingung dengan kondisi saya ini. Jika dalam tesis yang dibuat saya benar-benar mengarahkan keadaan lapangan penelitian untuk sama dengan keadaan lain yang sebenarnya tidak seperti itu maka rusaklah penelitian saya. Maksud mengarahkan keadaan lapangan ini yaitu, memaksakan narasumber untuk mengarahkan keterangannya menyamai keterangan narasumber yang lain. Padahal tidak seharusnya seperti itu.
Saat nanti metode sudah saya sesuaikan pun, masih akan mengalami berkali-kali proses revisi draft tesis yang tentu itu akan menyita waktu, tenaga, dan perasaan saya.
KULIAH PASCA SARJANA PERKIRAAN KEDEPAN
Entah bagaimana, saya memiliki niat buruk untuk menunggu saja, hingga batas akhir kuliah saya. Kemarin saat saya mendapat kabar dari seseorang yang nggak selesai-selesai studi S3 nya, beliau mengabarkan bahwa akhirnya justru kampusnya yang akhirnya meminta kepada beliau ini untuk yang penting menuntaskan disertasi yang bersangkutan. Tulis Disertasinya lalu membayar lah. Kampus beliau ini memang berbeda dengan kampus tempat saya kuliah.
Saya ada niatan untuk coba meniru keadaan beliau.
Niat buruk ini saya akui penuh resiko dan spekulasi. Anggap saya mengerjakan tesis dengan serius, belum tentu para dosen akan segera memberi kesempatan untuk men-seminar-kan hasil penelitian saya ini. Bisa saja kegiatan revisi dan revisi terus terjadi yang akhirnya meruntuhkan moral saya. Disisi lain, jika saya menunggu, maka saya bisa berfokus pada hal lain terlebih dahulu sembari melihat kedepannya apakah saya akan langsung di drop out, atau bagaimana.
Saya tidak akan bersantai-santai jika saya memilih posisi menunggu, ya fokus mengerjakan yang lain.
Sebelumnya saya sudah memilih posisi menjemput bola, dan hasilnya seperti itu (disuruh mengulang, tidak ada diskursus yang membangun, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, waktu terbuang, dsb).
Pada saat saya berada di posisi menjemput bola, maka saya akan fokus, dan sisi kehidupan yang lain terbengkalai, seperti usaha, keluarga, kerja-kerja penelitian lain, dan aspek hidup lainnya. Maka dari itu muncul lah pikiran, kenapa tidak coba untuk menunggu bola saja?
KESIMPULAN TULISAN INI
Tulisan ini sebenarnya hanya sebuah curahan hati atas banyak kebingungan yang saya hadapi. Saya menghadapi (1) kekalutan karena perkara pembiayaan kuliah padahal saya sudah merencanakannya sebelumnya, (2) kekecewaan karena hasil kerja saya tidak diperhatikan padahal seharusnya cara-cara kerja yang diinginkan disepakati sedari awal, (3) kesedihan karena apa yang sudah saya buat harus dirubah sedemikian rupa yang itu justru akan merusak bangunan penelitian yang dibuat, (4) ketersinggungan karena adanya bercandaan sexist pada kegiatan yang sensitif dan rentan stress seperti pengerjaan tugas akhir, (5) kebingungan langkah apa yang sebaiknya saya ambil, apakah akan menunggu bola atau lanjut mengejar bola bernama tesis yang selesai.