Penggambaran Awal
Disclaimer dulu, tulisan ini bukan ditulis mahasiswa filsafat, doktor (Ph.D/doctor of philosophy), ataupun orang yang suka mbaca buku dari awal sampai selesai.
Pemahaman saya, (yang mungkin sesat) yang saya tulis ini didapatkan dari hasil olah pikir dari berbagai hal yang diterima oleh inderawi saya, terutama mata dan telinga serta hati, yang bisa saja saya terima dari buku yang sempat saya baca (walau tidak sampai selesai), diskusi dengan orang, atau inspirasi dari perasaan saya atas pengalaman suatu kejadian.
Saya mau cerita tentang filosofi mengenai suatu perkara. Tentang ilmu pengetahuan, tentang kejadian, tentang benda-benda. Pokoknya perkara. Filosofinya bagaimana dari perkara perkara tersebut.
Jika ada pertanyaan, perlukah filosofi itu diadakan atas suatu hal? Atau filosofi itu sesuatu yang mengada-ada?
Saya akan coba jawab seperti ini, Filosofi itu akan muncul, baik dengan sendirinya, ataupun disengaja (by design).
Filosofi itu bahkan bisa muncul dengan sendirinya sebelum perkara/kejadian/benda itu ada (muncul atau dibuat). Filosofi itu mungkin saja bisa disamakan dengan konsep. Bisa juga tidak. Seperti konsep, filosofi itu jadi ada karena kebutuhan manusia.
Saya coba gambarkan dengan kondisi nyata. Contoh saja.. Apa filosofi sebuah roda. Kenapa lalu muncul frasa roda kehidupan?
Roda itu, dulunya muncul dari kebutuhan manusia akan kemudahan memindahkan barang yang berat. Karena jaman dulu perlu ngangkut batu dan batu itu sangat amat berat, maka untuk mengangkutnya dari satu titik ke titik yang lain membutuhkan usaha yang inovatif. Lalu orang cerdas jaman dulu membuat sejenis roda yang terbuat dari gelondongan kayu dari pohon yang ditebang.
Dengan menjadikan gelondongan itu bisa menggelinding atas permukaan datar (atau agak datar), maka barang yang diletakan diatas gelondongan yang menggelinding tadi juga akan berpindah tempat. Tergeser dengan sendirinya seiring menggelindingnya kayu gelondongan tadi itu.
Itu wujud filosofi, itu menjawab kenapa roda itu ada, bahkan sebelum mewujud jadi sebuah roda yang umum kita kenal sekarang. Itu adalah ‘roda’ yang paling tua.
Seiring berjalannya waktu, gelondongan tadi dirubah wujudnya hingga menjadi roda yang sekarang ini. Kayu gelondongan itu dirapikan bentuknya sehingga dapat menggelinding lebih halus, tidak benjo di satu bagiannya. Bagaimana orang dulu merapikan kayu yang benjo atau njendol-njendol itu? Bisa saja pakai batu yang tajam yang mereka buat juga. Nah batu tajam ini juga ada filosofinya, mungkin akan saya ceritakan di lain waktu.
Kembali ke kayu gelondongan. Selain disamakan bagian bagiannya, gelondongan tadi diperkecil ukurannya, dari yang awalnya sepanjang pohon aslinya jadi separuh panjang pohon aslinya, lalu diperkecil lagi jadi seperempatnya, lalu diperkecil lagi jadi sepersepuluhnya. Misalkan tinggi pohon, (anggap saja pohon kelapa yang lurus dan tidak bercabang) adalah setinggi 15 meter, maka itu diperkecil jadi hanya 8 meter, diperkecil lagi jadi hanya 4 meter, diperkecil lagi juga bisa, tergantung kebutuhan.. Nah kebutuhan ini yang juga menjadi filosofi.
Manusia, dari awalnya menemukan ide menggunakan kayu gelondongan untuk memindah barang ini mungkin jutaan tahun lalu, lalu mungkin butuh ratusan tahun bagi kita untuk menemukan ide memperkecil gelondongan kayu tersebut, butuh tahunan pula untuk menemukan ide membentuk gelondongan itu jadi rapi sehingga tidak benjo..
Kedepannya pun, entah berapa ratus tahun setelahnya baru kita para manusia terpikir untuk membuat as roda. membuat roda jadi ada alasnya berupa karet, membuat roda tadi ada ruji nya sehingga lebih ringan.
Kasus gelondongan menjadi roda ini sangat tua karena memang inovasi itu butuh orang-orang yang luar biasa cerdas. Tingkat kecerdasannya mereka berkali lipat lebih tinggi ketimbang kecerdasan masyarakat saat itu. Bisa pinjam istilah intelektual organik yang mahsyur itu.
Kisah tentang kayu gelondongan yang menjadi roda ini adalah kisah kecerdasan tentang hal yang pasti, saat gelondongan dicacah dengan batu tajam, maka pasti akan berubah bentuknya. Sudut mencacahnya, seberapa keras alat cacah, dan seberapa tajam alat cacahnya, itu adalah ilmu eksak.
Ada pula kecerdasan tentang sosial. Gelondongan, atau roda itu disamakan dengan kehidupan manusia. Karena manusia mengalami dan merasakan bahwa hidup mereka kadang diatas, kadang dibawah. Lalu mereka cukup cerdas untuk memaknai keadaan itu. Maka mereka sebutlah fenoma hidup yang diatas atau dibawah itu sebagai roda kehidupan. Kapan kecerdasan ini muncul? saya tidak tahu, karena ya itu tadi, filosofi bisa berusia sangatlah tua.
Orang orang yang bisa memaknai ini, cerdas secara sosial, mereka tidak mengutuk kehidupan mereka saat dibawah, juga tidak jumawa saat kehidupan mereka diatas. Para intelektual organik ini sibuk berpikir dan memaknai yang ada.
Filosofi ini akan muncul pada semua perkara. Baik pada perkara yang laku (dipakai terus dari jaman dulu hingga sekarang) maupun perkara yang tidak laku (ada namun akhirnya tidak dipakai oleh manusia) lagi.
Filosofi Itu Domain Orang Yang Tidak Biasa
Kasusnya sekarang adalah filosofi itu siapa yang punya? Siapa berhak mencetuskan satu filosofi dari suatu perkara atau menyalahkannya?
Menjawab ini agak susah, tapi bisa dijawab.
Karena filosofi itu setua umat manusia, maka yang punya hak atas filosofi itu ya manusia itu sendiri.
Jika, suatu perkara berangkat dari filosofi, maka itu jadi hak si penemu perkara. Contohnya perkara roda tadi, siapa yang nemukan roda? ya mereka yang sangat cerdas. Yang boleh berkomentar dan memaknai roda tadi ya penemunya. Yang lain yang tidak kalah cerdas yang bisa mengembangkan perkara roda tadi juga pun akhirnya boleh berkomentar, memberi makna dan filosofinya atas roda itu menurutnya.
Kondisi lain bisa juga terjadi, filosofi dimunculkan dari suatu perkara. Misalkan ada gambar tikus dan padi di satu dinding bebatuan, dan tidak ada yang tau siapa yang menggambar. Maka orang orang akan menduga-duga. Bisa saja dugaan mereka itu benar dan berguna, bisa juga dugaan mereka salah.
Misalkan saya, disuruh membuat dugaan tentang gambar tikus dan padi tadi, saya boleh saja mengucapkan bahwa “padi adalah makanan utama tikus, lalu tikusnya? Ya jadi makanan manusia”.
Masuk akal tidak dugaan saya ini? ya masuk akal, masih ada orang-orang di dunia ini yang memakan tikus yang makannya padi-padian. Bukan tikus got lho. Tikus sawah. Tikus adalah hewani, sumber lemak dan protein paling mudah. Tikus cepat berkembang biak, semakin kecil suatu mahluk semakin mudah mereka berkembang biak. Jadi manusia tidak akan pernah kehabisan tikus. tidak seperti manusia akan kehabisan sapi ataupun hewani yang lebih besar lagi.
Masuk akal kan dugaan saya? Bagaimana saya mencari/membuat filosofi dari gambar/relief tikus dan padi tadi? Itu bebas dan terserah saya. Selama nggak ngawur banget, dan bisa diterima akal sehat, bisa jadi thesis baru.
Masih bisa juga ditambahkan, tidak ada manusia kena diabetes karena kebanyakan makan tikus, tapi ada banyak manusia kena diabetes karena kebanyakan makan padi.
Tapi ada juga orang lain membuat dugaan lain tentang perkara gambar tikus dan padi tadi. Bahwa tikus adalah hama besar bagi tanaman padi. Tikus dapat menyebabkan manusia gagal panen padi. Dugaan ini bisa saja berasal dari pemahaman orang tersebut bahwa makanan utama manusia adalah beras yang berasal dari padi, dan kegiatan utama manusia (pada suatu waktu) adalah bertani padi.
Filosofi lain ini kira-kira masuk akal tidak? Ya masuk akal juga.
Kondisi lainnya tentang filosofi milik siapa, yang mungkin agak merepotkan adalah jika perkara itu sudah diluar nalar manusia.. Maka mencari filosofi dari perkara ‘ajaib’ ini jauh lebih berat lagi.
Jika ada kisah (yang mungkin saja nyata), orang bisa membelah lautan dan menyeberanginya. Maka bagaimana filosofinya? Bisakah perkara itu diulangi oleh manusia lainnya?
Perkara ini diluar nalar. Jadi filosofinya sangat susah (baik susah dicari, ataupun susah diterima). Begitu juga kisahnya jika ada orang bisa naik kuda yang ada sayapnya yang berwajah manusia lalu naik ke langit tingkat ke tujuh. Ini diluar nalar. Perkara diluar nalar ini untuk memaknai atau membuat filosofinya sangat berat. Kalau dipaksakan berfilosofi atas perkara diluar nalar sejenis ini bisa-bisa orang pada berantem. Udhur dewe-dewe.
Tapi ada juga perkara diluar nalar yang beberapa kali bisa diulangi, dan sejarah membuktikannya. Walaupun tidak selalu perkaranya terulang dengan pasti, tapi bisa dan beberapa kali terjadi.
Perkara ini kalau pakai bahasa orang di sebelah sana disebutnya mujarobat. perkara yang mujarab untuk mencapai perkara lainnya (tercapainya tujuan).
Hal hal kaya gini, Bisa juga disebut esoteris. Atau klenik. Atau bahkan tahayul. Karena ini tidak selalu terjadi, tapi ada dan pernah terjadi. Maka orang diberi hak untuk boleh percaya, boleh tidak percaya.
Domain dari perkara diluar nalar ini, ya harus dicari dengan cara diluar nalar juga. Dengan thoriqoh (tirakat/perilaku) yang diluar nalar juga. Seperti doa, puasa, dan tirakat lainnya. Pemahaman fisik dan hitung-hitungan nalar nggak akan bisa mencapai filosofi dari perkara diluar nalar, jika tidak dibarengi lelaku spiritual tertentu.
Ada kalanya, perkara diluar nalar tadi coba dicari filosofinya secara sosial.. Contohnya seorang ayah disuruh oleh ‘sesuatu’, dari mimpinya untuk mengurbankan anaknya, lalu saat anaknya mau disembelih anaknya berubah menjadi kambing. Jika dicari filosofinya, maka filosofinya secara sosial adalah orang harus rela mengorbankan bagian dirinya untuk orang lain. Orang harus rela bagi bagi jika mereka (merasa) mampu.
Tapi jika disuruh cari filosofinya kenapa berubah menjadi kambing, bagaimana menjadikan anak yang tadinya siap disembelih berubah menjadi kambing dan anaknya tetap masih ada, nah itu semua sudah jadi perkara diluar nalar.
Perkara lain, seperti perlu mengorbankan ayam cemani untuk mencelakai orang lain, atau mengorbankan lembu untuk keberhasilan membangun jembatan, itu diluar nalar, jangan memaksakan diri untuk mencari filosofi dari perkara-perkara jenis ini, dan yang lebih penting, jika tidak tahu, lebih baik tidak menilai filosofi dari perkara sejenis ini.
Ya itu tadi, yang tahu hanya yang mencetuskan. Kan ada dibilang, jika tidak tahu lebih baik diam..
Lalu, Perlukah Ada Filosofi?
Kalau saya, menganggap bahwa filosofi itu diperlukan. Dan filosofi itu pasti ada. Filosofi bisa juga dianggap penggambaran sebab akibat. Pemahaman sebab akibat ini menjadi dasar ilmu logika. Angka ‘dua’ bisa muncul dari sebab satu bagian ditambahi satu bagian. Ini kan sebab akibat. Walaupun tidak harus seperti itu, bisa juga ‘Dua’ itu muncul dari setengah bagian ditambah satu setengah bagian.
Filosofi kehidupan, ilmu padi misalnya, manusia semakin cerdas (mampu) semakin merendahkan diri. Ini diperlukan. Karena berfungsi sebagai penjaga pakem (aturan). Kalau orang makin cerdas makin sombong bisa saja mereka menjadi tiran. Kecerdasannya digunakan untuk membodohi orang lain. Kekayaannya digunakan untuk menjajah pihak lain.
Walaupun sah saja kalau mau menggunakan kekayaannya untuk semakin memperkaya diri, tergantung anda mau berdiri disebelah mana.
Mereka yang hidupnya banyak filosofi, malah umum ditindas oleh yang tidak kebanyakan filosofi. Ini pun ada filosofinya sendiri.
Kasus orang orang timur, Indonesia, India, yang dijajah oleh bangsa barat itu menjadi bukti bahwa kadang filosofi dianggap omong kosong. Padahal ndak seperti itu, tergantung kemampuan kita memaknai fenomena ini, tergantung bisa tidak kita berfilosofi.
Kalau kita maknai bahwa, orang timur punya pakem, sehingga senantiasa merasa hidupnya cukup, jadi tidak perlu ke negara lain untuk mencari rempah rempah dan barang tambang, maka kita bisa maknai berarti orang timur memiliki filosofi yang berguna. Bisa juga kita maknai orang barat karena tidak punya filosofi hidup maka mereka jadi rakus dan selalu merasa tidak cukup, sehingga merasa perlu rempah rempah yang akhirnya membuat mereka menjajah yang lain. Pemahaman seperti ini juga tidak sepenuhnya salah.
Coba saya sampaikan konteks kekinian. Dimana ada manusia-manusia yang dipenuhi rasa takut bahwa mereka akan kehilangan kehidupannya karena adanya robot dan Artificial Intelegence (AI). Kalau ikut kata teman saya namanya Ryan, dia justru bilang, Justru AI dan robot itu akan menggantikan manusia manusia yang hidupnya berisikan kegiatan yang bersifat pengulangan. Kegiatan yang diulang ulang ini umumnya justru miskin filosofi.
Kasir minimarket misalnya, kegiatannya berulang, menunggu pelanggan, menerima pembeli, menerima pembayaran, lalu berterima kasih. Ini kan kegiatan yang terus berulang. Akan sangat mudah digantikan oleh robot dan AI. Begitu juga teller bank digantikan mesin atm. Mesin atm digantikan M-Banking. Kok bisa? Ya karena kegiatan berulang ini miskin filosofi.
Kegiatan pengulangan tentu berbeda dengan kegiatan yang penuh syarat, pakem, dan ketentuan seperti filosofi. Bikin lagu atau bikin gambar seperti pelukis. Kegiatan seperti ini justru akan sangat susah untuk digantikan oleh robot dan AI. Ahli filsafat, yang sangat cerdas menemukan makna baru atas suatu perkara juga seperti itu, justru mereka ini akan sulit digantikan oleh AI dan robot. Setidaknya sampai otak manusia berhasil ditanami chip seperti yang dibuat oleh Elon Musk.
Selain itu, hadirnya filosofi juga membuat tandingan atas keinginan (keserakahan) untuk selalu lebih baik. Ada katana dan keris, keduanya umum dimiliki oleh orang orang yang menghargai filosofi. Katana biasanya digunakan oleh samurai. Samurai hidup dengan filosofi. Biasanya disebut juga jalan pedang. Bushin atau bushido. Bandingkan dengan koboi (cowboy) yang bersenjatakan revolver. Berapa banyak orang di amerika sana yang masih punya dan menghargai pistol revolver, yang menurut mereka pelurunya hanya sedikit, 6 atau 8 butir, yang menurut mereka tiap habis menembak laras pistolnya akan sangat panas jadi harus repot-repot diputar putar dulu. Lalu mereka ingin lebih cepat dan lebih ringkas lagi, maka munculah pistol modern seperti glock dan sejenisnya, yang tentu pelornya juga lebih banyak.
Kondisi seperti itu tidak terjadi pada katana atau keris. Kalau katana dan keris ini dipandang tidak berguna ya tidak apa apa. Tapi realitanya masih lebih banyak orang yang memahami-menghargai pakem dua senjata itu dibandingkan pakem dari senjata orang orang barat.
Begitu juga para petani jawa yang memahami filosofi hidup jawa saya yakin hidupnya lebih damai dan bahagia dibandingkan para petani milenial di jawa yang menanam apa-apa harus untung kalau tidak mau buntung.
Jadi, filosofi itu harus ada, ini menurut saya. Tujuannya demi menjaga pakem yang ada. Kalau tidak ya mungkin saja kerusakan-kerusakan akan semakin cepat terjadi.
Pohon besar disakralkan, karena ada ‘penunggu’nya. Bisa saja penunggunya itu memang ada mahluk2 nggak kasat mata yang berteduh di pohon tersebut, bisa juga penunggunya adalah butiran-butiran air yang terikat di rambut rambut akar si pohon besar itu di dalam tanah. Sah saja jika lalu kita mau menebang pohon tersebut dan mematikannya. Tapi jika kedepan lalu terjadi kekeringan maka ya diharapkan orang-orang jadi pada sadar diri atas kelakuan mereka sebelumnya.
Sekarang, Bagaimana Menerapkan Filosofi?
Saya mau cerita lagi. Maaf kalau kepanjangan.
Sekarang tak cerita tentang keris, ada dua keris, dari banyak keris. Ada (1) keris bentuknya nogososro. Ada juga (2) keris bentuknya singo barong. Keris nogososro, konon, tuahnya untuk kewibawaan. Yang satunya, keris singo barong, konon, tuahnya (juga) untuk kewibawaan.


Bagi mereka yang awam, akan memandang yang satu adalah keris, yang satu juga keris. Bagi mereka yang tidak menghargai serta takfiri, akan dengan mudahnya bilang keduanya adalah sirek (kata keris dibalik) atau syirik. Bagi mereka yang banyak belajar keris akan tau, yang satu keris adalah nogososro/nogorojo karena ada kepala naga diatas gonjo keris dan badan naga terlihat hingga ujung bilah keris, sedangkan yang satu disebut keris singo barong karena ada bentuk singa duduk di atas gonjo keris.
Perkara tuah/esoteri ini tadi, lebih jarang lagi yang tau. Jika keduanya untuk kewibawaan, lalu apa bedanya selain bentuknya? Kenapa harus repot-repot bikin banyak bentuk keris.
Nah untuk menjelaskannya saya tambahkan satu kisah lagi,
Di satu negeri ada dua orang. Satu namanya Sukarno. Satu namanya Sudirman. (kesamaan nama tokoh adalah kebetulan, anggap saja ini cerita fiksi).
Sukarno adalah pemimpin tertinggi negeri, bisa disebut presiden (bahkan menjadi lambang negeri). Sedangkan sudirman adalah pemimpin militer (kerja utamanya perang dan jaga keamanan).
Lalu ada lagi saya, saya cuman seorang pande besi, tukang bikin pisau dapur, celurit, dan kadang bikin keris. Maka seandainya kedepan saya bisa ketemu kedua orang tadi, nantinya akan saya berikan yang saya punya dan bisa berikan. Kenapa harus memberi, ya tentu untuk mengapresiasi (menghargai jasa serta mendoakan) mereka. Dua orang besar yang penuh jasa itu. Karena keduanya bukan ibu rumah tangga, ya hampir nggak mungkin akan pakai pisau dapur, masa lalu saya beri pisau dapur. Keduanya juga bukan petani, maka tidak mungkin saya bikinkan arit dan pacul untuk mereka.
Maka ya mereka saya bikinkan keris, siapa tau besok ketemu mereka. Kan gitu. Karena mereka keduanya adalah pemimpin, maka Keris yang diberikan ya yang menunjukan atau bertuah kewibawaan. Tidak elok kalau mereka malah diberi keris kebo lajer, harus yang lebih sangar.
Tidak elok juga jika untuk orang-orang sebesar mereka dibuatkan keris yang sama. Kalau nanti ketukar bisa berabe. Nanti jadinya keris singo barong punya sukarno dan keris singo barong punya sudirman, trus besoknya bisa ketuker, masa perlu diberi name-tag biar nggak ketuker.
Akhirnya ya mereka saya bikinkan keris. Yang satu singo barong, yang satu nogo sosro. Yang mana yang akan mendapatkan singo barong, dan yang mana yang mendapatkan nogo sosro.
Karena singo/macan adalah mahluk yang nyata, dan ada berkeliaran di sekitar manusia, maka singo akan melambangkan hal hal yang sering ada pada/bersama manusia. Berbeda dengan nogo/naga. Penggambaran naga paling dekat adalah ular ataupun buaya. Namun ular dan buaya bukan lah naga. Naga adalah mahluk imajiner, mitologi. Naga hanya akan turun dari langit jika memang saatnya turun dari langit. Entah darimana datangnya dan siapa yang buat. Makanya nogo lebih mistik dibandingkan singo.
Baik singo dan nogo, keduanya menunjukan hawa kewibawaan yang luar biasa. Orang biasa yang lihat akan takut, kalau tidak lari ya bisa menangis, karena takut. Atau malah pipis di celana karena hawa kewibawaan angker yang mereka bawa.
Karena Sukarno adalah lambang negara (lambang itu harus ada tapi juga bisa tidak ada), dan kerjaannya sangat berat dan cenderung mitos, seperti bisa memuaskan rakyatnya, mensejahterakan rakyat, menjaga rakyatnya walaupun tidak lewat menang peperangan, membuat rakyatnya sugih tanpa harus membagi-bagi uang pada mereka, maka beliau akan lebih cocok saya beri keris nogososro. Keris berbentuk mahluk mitos. Karena jadi pemimpin seperti presiden itu tidak harus parlente dan berseragam gagah, cukup pakai singlet atau celana kolor saja dia tetap ditakuti dan disegani. Amat mirip dengan keberadaan naga. Bisa juga anda maknai naganya pakai singlet dan kolor, tapi ya tetap saja ia seekor naga.
Sedangkan Sudirman, karena dia pemimpin militer, disegani saat sudah jadi jenderal. Ditakuti saat sudah diikuti ribuan prajurit, maka dia cocok saya beri keris singo barong. Keris berbentuk macan duduk menakutkan. Yang hanya menakutkan saat si macan sudah dewasa. Macan lah yang akan ada disekitar manusia dan rakyat biasa. Macan juga yang tidak terlalu mitos, dan Macan juga yang akan bikin masalah kalau tidak menjaga amanah.
Jadi Sukarno lebih layak jika diberi keris nogososro, dan Sudirman lebih layak diberi keris singobarong. Keduanya menunjukan kewibawaan, namun keduanya membawa pepesan dan harapan pada konteks masing masing.
Tapi apakah bisa diartikan bahwa keris nogososro hanya layak untuk presiden, dan singobarong tidak layak? Tidak juga. Disini perlu melihat konteksnya. Filosofi itu pakem tapi bisa dirubah jika diperlukan, asalkan tidak asal asalan.
Anggaplah anda pengusaha, apakah pengusaha tidak boleh berwibawa? kan boleh saja to, malah harus. Jika keris nogososro anda miliki dan bawa, maka pekerjaan pekerjaan yang jarang/tidak bisa dilihat orang (tersembunyi seperti mitos) diharapkan anda kerjakan juga. Seperti apa? Misalnya bersedekah dari hasil usaha (sedekah ini kan tersembunyi, jarang dilihat orang), atau mendoakan dan merawat orang yang mengikuti anda seperti pelanggan ataupun pegawai anda (kan merawat bukan berarti juga memandikan, memberi makan, dan menemani tidur). Tidak memalsukan barang/jasa yang anda usahakan (ini juga yang tau hanya anda/si pengusaha sendiri). Ini pepesan dari keris nogososro.
Begitu juga jika si pengusaha memiliki atau membawa keris singo barong. Pesannya adalah agar perkara perkara yang bisa dilihat dan dirasakan banyak orang bisa anda tangani dengan baik. Anggap anda pengusaha kuliner, maka alangkah baiknya jika anda juga bisa masak/bikin makanan. Seperti singo yang ditakuti karena bisa menerkam dengan cepat. Misal anda juragan digital marketing, maka anda harus ngerti pakai laptop dan hape. Kan gitu. Kalau pengusaha kuliner tapi nggak bisa masak ya bisa disamakan dengan macan ompong. Pengusaha digital tapi gaptek pun begitu. Ini pepesan keris singobarong.
Kisah tentang keris ini tadi menggambarkan bagaimana aktualisasi yang namanya filosofi. Ada pepesan, ada nilai, ada harapan, ada hasil, ada capaian, makanya munculah filosofi. Jadi bukan hanya diomongkan semata. Bukan pula dipaksakan harus seperti itu. Dipaksakan tapi meninggalkan makna dan kebermanfaatan lalu buat apa.
Perkara keris ini juga tidak akan habis dibabar. Masih ada pamor keris. Masih ada lagi esoteris (klenik) dari keris. dan sebagainya, yang semuanya bisa ditarik benang filosofinya, bisa juga tidak.
Yang jelas, perlu orang yang “tidak biasa” atau extra ordinary (kalau saya bilang orang yang luar biasa cerdas nanti ndak dikira ekslusif/elitis) sehingga bisa menarik benang yang namanya filosofi tadi. Kalau orang yang rendah cipta rasa dan karsanya seringnya justru malah memperburuk filosofi yang tadinya penuh makna. Akhirnya ya jatuh ke ikut ikutan/taklid dan justru menghilangkan keluhuran dari filosofi perkara itu sendiri. Salah satu contohnya? Barang barang filosofis dijual berdasar satu makna filosofinya belaka seperti khodam-khodam-an, tanpa coba berpikir keras apa filosofi yang lebih benar lagi. Contoh lainnya, ya dengan entengnya menganggap suatu filosofi perkara itu tidak penting dan membuang waktu.
PENUTUP
Tidak terasa, saya sudah menulis 3000 kata. Panjang sekali memang tulisan ini. Padahal saya juga ada tagihan bikin jurnal, malah bikin coret coretan sepanjang ini. Saya kerjakan hanya beberapa jam, tapi menghasilkan banyak kata. Aslinya, bisa saja tulisan ini dibuat ringkas, (seperti power point tanpa point yang jelas gitu) tapi justru filosofinya disitu, dimana tulisan yang panjang sekali ternyata mampu meluapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan penulisnya, tulisan akhirnya sekali lagi terbukti jadi sarana refreshing atau setidaknya sebagai olahraga jari. Mungkin memang ini gairah saya makanya kuat nulis sepanjang ini dalam sekali duduk. Tulisan ini saya persembahkan kepada mereka yang mau membaca. Jika ada kata kata yang salah, dirasa tidak pas, harap berkenan memberikan koreksi dan memaklumi. Sekian dan terima kasih.