Tengah-tengah tai asu, saat orang macak jadi malaikat untuk menilai orang lain. Menganggap orang lain buruk, malas, udik, dan tidak sebaik sang malaikat.
Ini tulisan tentang fenomena kehidupan. Kontemplasi atas apa yang sering penulis lihat selama ini. Lihat dan rasakan. Jadi kualitatif. Iya kualitatif maksudnya sesuatu itu tidak semuanya bisa dinilai dengan angka. Satu hingga sepuluh. Atau hanya mencapai lima. Sangat tidak setuju dinilai satu, dan ujung lainnya, lima misalnya, adalah sangat setuju. Itu kalau kuantitatif. Tulisan ini lebih tentang ketidakadilan kualitatif itu sendiri.
Tengah-tengah tai asu. T3A, hampir sama dengan H2TA. Apa itu H2TA? Bukan rumus kimia. H2TA itu hangat-hangat tai ayam. Sebuah idiom yang menunjukan kondisi dimana suatu kenyamanan yang semu. Palsu. Kita kira hangat dan nyaman di kulit. Eh, taunya itu tai ayam. Kata teman saya yang belajar ilmu tentang ternak, mbelek pitik (tai ayam) itu tidak mengeluarkan bau selama tidak berubah wujudnya. Setelah keluar dari pantat ayam. Masih bulat dan utuh sebagai satu kesatuan. Kesatuan tai ayam. Tidak bau. Lalu terinjak misalnya, maka berubahlah bentuknya. Mblenyek. Dan menempel pada telapak atau alas kaki si penginjak. Jika anda yang menginjak, ciumlah, dan hidung anda akan merasakan pengalaman hidup yang tidak terlupakan. Kalau sapi, kotorannya disebut telethong. Sama juga kerbau. Kambing, yang mengembik itu, kotorannya disebut srinthil.
Hangat. Berarti tidak panas, tidak juga dingin. Tidak juga sama dengan suhu ruang. Kalau dibilang suhu ruang, banyak yang bingung. Perlu termometer. Setelah diamati baru kita tau berapa suhu ruang saat itu.
Sama juga dengan tengah. Sebuah posisi. Tidak ke barat. Timur juga tidak. Tidak juga tepat ditengah, antara dua kondisi pun tidak. Makanya saya sebut kualitatif. Satu hingga lima, tengahnya adalah tiga. Saat orang bilang hangat, maknanya tidak tepat ditengah antara panas ataupun dingin. Susah kan?
T3A, tengah-tengah tai asu. ini lebih buruk daripada H2TA. Tengah-tengah tai asu itu melibatkan para asu, dan tai mereka. Para anjing itu. Tidak hanya menggonggong, asu juga bisa tidur lama, dan makannya banyak. Selain royal canin, asu juga kadang memakan tai mereka sendiri. Buat yang nggak tau, royal canin itu whiskas-nya para anjing. Seekor anjing biasa makan tai mereka sendiri. Entah seperti apa rasanya. Kalau pada manusia, mungkin seperti menjilat ludah sendiri.
Tengah-tengah tai asu, adalah saat para asu menilai asu lainnya. Anggap saja ada asu A dan asu B. Asu A menilai asu B menggunakan standar yang diyakini oleh asu A. Tidak ada asu C. Hanya asu A dan asu B. Tidak ada asu A mengutip teori dari asu C. Lalu digunakan menilai asu B. Tidak ada. Mereka tidak secerdas itu. Mereka hanya asu. Bukan gajah, atau lumba-lumba. Apalagi gagak. Asu tidak masuk dalam daftar 10 hewan paling cerdas. Populer iya, cerdas tidak. Karena populer, manusia yang katanya lebih tinggi derajatnya pun melatih mereka. Lalu dianggaplah mereka cerdas, padahal tidak.
Asu A menilai asu B. Dengan standar dari asu A. Sebagai asu, mereka hanya menilai yang buruk-buruk. Namanya juga asu. Yang baik hanya manusia yang memberi mereka makan. Selain kepada yang ngasih makan, para asu akan menggonggong. Menyalak dengan galak. Orang lewat tidak salah apa-apa akan digonggongnya, cantik dan jelek semua kena. Anak manusia yang masih kecil tanpa dosa pun tidak lepas akan gonggongannya. Orang-orang yang terganggu, tidak jarang ikut-ikutan memberi makan pada si asu. Walaupun makanan yang diberikan diisi potas atau pecahan beling.
Tidak salah sebenarnya asu A menilai asu B. Namun menjadi salah saat penilaian itu dilakukan setengah-setengah. Sebagai sesama asu, asu A tidak bisa menggantikan manusia, memberi makan asu B. Menilai, padahal tidak tau bagaimana masalah yang dihadapi asu B. Tidak juga bisa memberi solusi kongkrit untuk asu B. Sekedar menilai. Padahal asu B tidak butuh penilaian.
Tengah-tengah tai asu. Sebagai asu, mereka merasa dirinya sempurna. Adapun cela, tidak terlihat oleh mata mereka. Merasa bisa, lalu menerka. Mengira-ngira. Itu yang dilakukan asu A. Saat penilaian itu dikembalikan kepada asu A, mereka tidak akan terima. Menyalak dan menganggap asu B keras kepala. Makanya tengah-tengah, tidak keatas tidak kebawah.
Asu B dianggap malas dan tidak tau kerja keras. Padahal asu A juga sejatinya pemalas. Kerja sekenanya, yang penting tugas selesai, tidak peduli itu benar atau salah, menjadi berkah atau mencipta musibah. Perkara di masa depan jadi masalah, piker keri, begitu menurut asu.
Sebenarnya asu A dengan asu B bisa sama-sama enjoy menikmati kehidupan. Jika itu tadi, tidak ada penilaian setengah-setengah, baik dari asu A ataupun dari asu B. Tidak menilai, namun memberikan pencerahan. Jika kita ditengah, hidup masih setengah-setengah, merasa bahwa kita sedang berproses, jangan meminta yang lain untuk berlari untuk menyelesaikan masalah mereka. Apa manfaatnya menilai yang lain itu ekstrim, radikal, intoleran, dan sebagainya, apalagi itu menggunakan standar dan pemahaman diri pribadi kita. Jika kita bisa, maka berkontribusilah meringankan yang lain, bukan dengan penilaian setengah-setengah. Karena tengah dan tidak jelas itulah tai asu.