Usaha Teliti Usaha Tani

Teliti, sebuah kata sifat yang jika dirubah menjadi kata kerja menjadi penelitian, menjadi sebuah fenomena yang cukup menarik untuk ditinjau. Penelitian, umum dilakukan oleh mahasiswa, atau dosen, atau para akademisi. Para ilmuwan, mereka yang dilimpahi ilmu dan pengetahuan pun umum melakukan penelitian. Kegiatan ini menjadi satu dari tiga pilar tridharma pendidikan tinggi lainnya bersama Pendidikan dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

Usaha Tani Usaha Teliti

Penelitian, merupakan sebuah kegiatan yang, berawal dari suatu rasa ingin tahu, atau ingin membuktikan sesuatu, atau bahkan menemukan hal baru, lalu dikerjakan dengan kaidah dan metode yang ilmiah dan sistematis, sehingga terjawablah rasa penasaran diawal tadi. Sederhana kan?

Kegiatan penelitian ini, berkembang menjadi sebuah pekerjaan yang jika dikerjakan terus menerus, maka yang mengerjakannya akan digelari peneliti. Sama seperti petani, karena penulis adalah seseorang yang mempelajari rumpun ilmu pangan-pertanian, maka gambaran seorang petanilah yang penulis ambil.

Para petani itu, awalnya hanya menanam dan merawat tanaman saja. Lalu semakin banyak yang mereka tanam, sampailah pada kondisi dimana waktu keseharian mereka dihabiskan untuk mengurusi tanaman dan ternak yang mereka miliki. Jadilah mereka petani. Ini yang ideal. Sekarang masih banyak petani yang seperti ini. Walaupun ada juga petani yang lebih sibuk menjadi buruh kasar di perkotaan.

Petani akan memilih menjadi buruh kasar atau jenis pekerjaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan pertanian jika hasil dari kegiatan tani (usaha tani) mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bertani tidak makmur, dan tidak mensejahterakan. Sebenarnya lebih tepatnya belum, belum saatnya makmur. Belum makmur karena belum musim panen. Bisa juga karena memang lahannya terlalu kecil. Takut akan resiko kegagalan pertanian juga jadi satu alasan. Atau alasan lainnya. Tidak sedikit petani beralih profesi demi ekonomi. Makanya mereka nyambi mengisi hari-hari dengan kegiatan produktif lain demi isi pundi-pundi.

Menjawab ketidakmakmuran petani, bisa dilakukan dengan menganalisis usaha tani lalu memperbaiki usaha tani yang dilakukan para petani. Usaha tani yang menurut Soekartawi (1995) berarti bagaimana seorang petani mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki secara efektif dan efisien sehingga tercapailah tujuan untuk mendapatkan keuntungan tertinggi dari kegiatan pertanian tersebut menjadi pangkal dan ujung dari kemakmuran dan kesejahteraan petani. Efektifnya pertanian yang dilakukan petani tercapai jika petani dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki sebaik-baiknya. Sedangkan pertanian dikatakan efisien jika petani sanggup mencapai output pertanian besar dengan input yang kecil.

Kondisi usaha tani dapat dianalisis sehingga menjelaskan kondisi kemakmuran para petani. Hal ini pun, dirasakan oleh penulis yang walaupun penulis bukan petani. Penulis hanya terkadang menjadi seseorang yang meneliti, (membantu) melakukan kegiatan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat.

Selama (membantu) melakukan kerja-kerja penelitian inilah penulis mempelajari bahwa, menjadi peneliti pun sama seperti petani. Petani maupun peneliti mengerjakan sesuatu yang awalnya sederhana tapi menjadi amat kompleks. Pada kasus penelitian, yang awalnya hanya ingin menjawab rasa ingin tahu, atau menguji sesuatu, atau menemukan hal baru, berkembang menjadi sebuah rangkaian kegiatan yang membutuhkan anggaran jutaan hingga ratusan juta. Adanya tren pengetahuan dan keilmuan dalam penelitian, sama seperti tren singkong menjadi beras menjadi gandum pada pertanian. Munculnya peak season dan off season dalam penelitian sama seperti musim hujan dan musim kering yang dihadapi petani. Lahirnya sertifikasi akan hasil-hasil penelitian menyamakan pertanian dengan penelitian. Apakah penelitian itu kimiawi dibuat-buat (hingga bahkan hasil plagiariasme) atau penelitian itu organik, yang dipupuk dari berbagai bahan pemikiran dan temuan organik yang alamiah. Petani yang tidak sejahtera, senasib juga dengan peneliti yang susah sejahtera.

Setidaknya ada tiga penyebab dasar mengapa usaha penelitian hampir sama dengan usaha tani.

Penelitian Berbiaya Tinggi

Penelitian itu sama dengan pertanian. Sama-sama membutuhkan modal yang besar. Di Indonesia, seseorang memerlukan gelar akademis setidaknya S2 untuk dapat mengajukan penelitian yang dibiayai oleh negara. Bisa saja sih, penelitian yang dilakukan dianggari sendiri.

Mereka yang melakukan penelitian, membutuhkan kapital yang tidak sedikit untuk mengerjakannya. Salah satu contohnya, meninjau dari Standar Biaya Keluaran Kementerian Keuangan untuk riset di bidang pangan-pertanian, membutuhkan modal mencapai 150 juta untuk riset tingkat dasar. Untuk melakukan riset tingkat pengembangan untuk bidang pangan pertanian, mencapai hampir 600 juta rupiah. Sangat padat modal. Modal finansial yang padat ini lalu dituntut untuk dikelola sebaik mungkin sehingga menghasilkan penelitian yang layak dan diakui setidaknya oleh nasional, atau bahkan dunia internasional. Pengelolaan anggaran dan biaya inipun sangat administratif sehingga membuat mereka yang melakukan penelitian menjadi lebih sibuk mengerjakan hal-hal administratif dibanding kerjaan meneliti itu sendiri.

Anggaran menimbulkan anggapan. Dengan dicantumkannya nominal anggaran maksimal untuk sebuah pelaksanaan riset akan melahirkan anggapan bahwa melakukan penelitian itu membutuhkan modal finansial yang tidak sedikit. Realitasnya begitu. Walau bukan juga kondisi baku.

Dianggapnya peneliti itu sejahtera, karena membawa uang banyak (untuk melaksanakan penelitian), sama seperti petani yang dianggap sejahtera, karena memiliki hamparan sawah dan pekarangan yang luas. Padahal belum tentu seperti itu.

Paradigma Komersil dan Subsisten Pada Penelitian

Penelitian maupun pertanian semakin kemari semakin dituntut untuk komersil. Seperti para petani yang dibedakan menjadi petani komersil atau subsisten. Petani subsisten adalah mereka yang bercocok tanam sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri sesuai kebutuhan sehari-hari. Para petani digadang-gadang untuk meningkatkan taraf hidup mereka dengan mengkomersilkan atau meningkatkan nilai usaha tani mereka. Ditingkatkan dengan berbagai cara, entah dengan melipatgandakan hasil panen menggunakan bibit unggul terfabrikasi, atau dengan mengolah hasil panen menjadi barang jadi atau setengah jadi.

Pertanian yang berhasil menjejaki status komersil akan dielu-elu dan dibanggakan. Hal sama juga terjadi pada dunia penelitian. Penelitian akan dipandang layak dikomersilkan atau sekedar subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sectoral atau temporal semata). Penelitian dan ilmu pengetahuan pun dibedakan mana yang akan laku dipasaran, dan mana yang sekedar menjadi pengisi perpustakaan.

Rendahnya Penghargaan Atas Kerja Penelitian

Petani, menghabiskan waktu siang dan malam untuk menjaga agar padi atau lainnya, yang mereka budidayakan, tidak rusak dimakan wereng atau pengganggu lainya. Kesibukan ini kadang dikerjakan pula oleh anak maupun istri dari petani. Fenomena ini memunculkan keluarga tani merangkap tenaga kerja tani. Yang parah adalah bahwa hasil kerja anak dan istri petani ini sering tidak dihitung dalam sistem pengupahan. Dianggaplah bahwa itu adalah kewajiban anak untuk membantu orang tuanya yang seorang petani, atau tugas istri membantu suami dalam pekerjaannya bertani.

Fenomena ini juga terjadi pada dunia penelitian. Pihak donor penelitian (negara misalnya) sering secara terang-terangan mencantumkan maksimal anggaran yang dapat dialokasikan untuk honorarium (penghargaan) sumber daya manusia yang melakukan penelitian. Bahkan pernah beberapa waktu kemarin disampaikan bahwa alokasi honorarium dalam melakukan penelitian hanya dapat diberikan kepada tenaga kerah biru seperti kuli bangunan atau buruh kasar maupun tenaga angkut.

Penelitian yang dilaksanakan di pendidikan tinggi lebih lagi, karena anggapan bahwa penelitian adalah kewajiban akademisi, maka dari itu akademisi tidak diperkenankan memperoleh upah dari kerja-kerja penelitian. Peneliti yang merupakan pengajar di pendidikan tinggi tidak diperkenankan memperoleh honorarium. Akademisi telah dianggap menerima upah imbal balik dari gaji bulanan yang diterima. Disini peneliti mungkin diposisikan seperti anak istri dari seorang petani.

Fenomena rendahnya penghargaan pada pelaksana penelitian juga mendera mahasiswa. Mahasiswa yang dianggap masih belajar, dianggap cukup diberi penghargaan berupa nilai akademis semata. Dianggapnya masih belajar, padahal tidak boleh salah, dan harus profesional. Wajib jujur. Salah satu nilai utama yang harus dimiliki oleh peneliti adalah kejujuran, yang ini juga harus dimiliki oleh para mahasiswa. Sudah bagus para mahasiswa ini berkenan meneliti, mereka berbaik hati tidak memanipulasi temuan hasil penelitian agar terlihat signifikan dan memuaskan. Posisi mahasiswa atau mereka yang masih belajar ini mungkin setara buruh tani, gedibalnya para pemilik lahan pertanian. Mahasiswa yang melakukan penelitian dianggap kerja part time.

Usaha Tani dan Usaha Teliti

Banyaknya jumlah petani miskin menimbulkan keengganan bagi masyarakat umum untuk berkontribusi menjadi petani. Jarang orang membeli lahan untuk dirubah menjadi produktif loh jinawi. Betapa sulitnya mencari sektor pertanian mencari regenerasi. Anak-anak petani yang sewaktu kecil menjadi buruh tani tanpa bayaran dari orang tuanya, setelah dewasa memilih beralih profesi. Walaupun profesi sebagai petani tertera pada kartu tanda penduduk yang mereka miliki. Bisa jadi, mereka trauma karena melihat orang tua mereka hidupnya tidak makmur dan tidak sejahtera karena menjadi petani.

Mungkin dunia penelitian juga akan seperti ini. Orang-orang enggan untuk menjadi lebih teliti atas suatu hal. Enggan memiliki rasa penasaran, apalagi mencari jawabnya. Menemukan hal baru pun menjadi langka. Fenomena ini sebenarnya sudah mulai terjadi. Ranah penelitian mulai dibatasi. Mulai terbentuknya fakultisme penelitian. Nantinya menjadi jurusan. Lalu menjadi ranting ilmu pengetahuan yang konsentrasi. Akhirnya penelitian satu tidak berhubungan dengan penelitian yang lain. Peneliti dan penelitiannya menjadi menara gading yang jauh dari hingar-bingar keadaan aktual masyarakat.

Pada kegiatan usaha tani, tidak berlanjutnya penggunaan lahan oleh pemiliknya, akan membuat lahan tersebut beristirahat, walau lebih tepatnya dipenuhi oleh gulma. Gulma dan tanaman yang tidak diharapkan ini akan menghabiskan air dan oksigen yang dikandung dalam tanah, belum lagi unsur mikro maupun makro dalam tanah juga ikut dihisapnya. Dari sisi petani pemilik lahan, semakin lama tidak melakukan usaha tani, tentu akan semakin jauh pula dirinya dengan budaya bertani. Belum lagi resiko akan hilangnya pola usaha tani lokal karena tidak berlanjutnya usaha tani. Bisa juga varietas lokal turut hilang dengan semakin enggannya mereka melakukan usaha tani.

Hal seperti inipun terjadi pada usaha penelitian. Terkadang penelitian dilakukan untuk memperbarui keilmuan. Updating kondisi. Komparasi. Dari teori di satu tempat diperbandingkan dengan konsep di tempat lain. Itu jika rajin. Apakah bisa tetap rajin, saat upaya yang dilakukan tidak memberikan dampak maupun imbal balik yang layak. Petani sama dengan peneliti. Keduanya bisa beralih profesi.

Seperti mereka yang KTPnya berprofesi petani, namun ternyata tidak pernah lagi bekerja di lahan pertanian. Pendapatan utama penyangga kebutuhan rumah tangga diperoleh dari pekerjaan lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan usaha tani. Saat dilakukan analisis atas usaha tani yang dilakukan, ternyata pemasukan rumah tangga bukan diperoleh dari sawah, kebun, ataupun ternak, justru dari pendapatan hasil narik ojek, upah sebagai kuli bangunan, gaji bulanan sebagai tenaga keamanan atau kurir dan penghasilan lain diluar kegiatan pertanian.

Petani tidak bertani. Alih fungsi lahan pertanian terjadi. Peneliti tidak meneliti. Alih fungsi lahan pemikiran pun akan terjadi.